Pak Panggeng adalah anak seorang petani di
daerah Boyolali. Anak ke 2 dari 6 bersaudara, lahir pada 9 September 1976. Beliau tidak buta sejak lahir. Ketika sedang asyik bermain dengan
teman-temannya, Pak Panggeng terkena peluru pistol mainan anak-anak pada mata
kirinya. Mata kirinya sakit dan tidak
bisa melihat. Dan tragisnya, mata
kanannya pun juga tidak bisa melihat.
Hingga Pak Panggeng harus kehilangan penglihatannya saat ia duduk di kelas 5 SD,
tepatnya tahun 1988.
Pak Panggeng kesulitan mengakses SLB,
hingga akhirnya ada seorang wanita katolik aktifis gereja bernama Sita
Damayanti yang memberinya informasi keberadaan SLB PSBN, Panti Sosial Bina
Netra di Solo.
Di tahun 1995 pak Panggeng dapat mengenyam
pendidikan di SLB PSBN. Saat itu Pak
Panggeng berusia 18 tahun, masuk ke kelas keterampilan. Selama 2 tahun belajar di sana, termasuk
mengikuti beberapa kursus s/d satu tahun.
Selama belajar di sana, beliau
tinggal di asrama tunanetra. Beliau ikut
olahraga Judo, bekerjasama dengan Komite Olahraga Nasional indonesi (KONI)
Surakarta. Melalui olahraga itu Pak
Panggeng menuai prestasi, di tahun 1995 beliau ikut ekspedisi Pra PON di
Ciloto, di tahun 1996 ia ikut ekspedisi PON di Jakarta melawan atlet DKI. Lawannya adalah orang normal yang punya
penglihatan, tapi beliau menang. Pada
tahun 1999 Pak Panggeng pergi ke Thailand mengikuti perlombaan penyandang cacat
se-Asia Pasifik, & memperoleh juara harapan 1. Kalah dalam perebutan medali perunggu oleh
atlet Jepang. Tapi kini ia tidak terlalu
aktif di olahraga Judo, hanya sesekali pernah dipanggil dalam beberapa event.
Tahun 1998 Pak Panggeng pindah ke Jakarta,
di Bangka, dekat dengan perguruan tinggi Al-Hikmah. Ia membuka praktek pijat. Pada tahun 2001 ia
berkenalan dengan Bapak Soban Jauhari, seorang pelanggannya, pertemanan itu
membuatnya terjun ke medan dakwah. Tahun
2003 beliau berkenalan dengan Aboe Bakar Al-Habsyi, dengan Anis Matta, Ustadz Hasib, Ahmad Riyadi, dll.
Pada tahun 2008 Pak Panggeng pindah ke
Ciledug, menempati tanah yang sudah dibelinya sejak 2006, melalui perantaraan
pamannya, uang untuk membeli tanah tsb adalah hasil menabung, tanah itu ia
gunakan untuk praktek dan dakwah, di tahun 2011 rumah tsb bukan saja digunakan
sebagi tempat tinggal tapi juga untuk pusat kegiatan yayasan PKTN.
Dengan kegigihannya tsb Pak Panggeng telah
memiliki binaan kurang lebih 70 orang.
Selain program edukasi tsb, Pak Panggeng juga punya jadwal rutin ta'lim
dengan seluruh binaannya sepekan sekali dengan menghadirkan ustadz dari
luar.
Alhamdulillah
Pak Panggeng sudah membina rumah tangga dengan seorang perempuan pujaan (bukan
penyandang tunanetra) & telah dikaruniai 2 anak laki-laki. Ditengah kesibukannya membina keluarga & tanggung
jawab kepada keluarganya termasuk mencari nafkah, beliau masih sempatkan
membina yayasan dengan infak dari penghasilannya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar